Nikmatnya Berbuka Puasa: Meneladani Sunnah Rasulullah dan Menjaga Kesehatan

Ketanggungan– Bulan suci Ramadan adalah momen istimewa bagi umat Islam untuk meningkatkan ibadah dan memperbaiki diri. Salah satu waktu yang paling dinanti selama Ramadan adalah saat berbuka puasa. Selain menjadi bentuk rasa syukur atas nikmat Allah, berbuka puasa juga merupakan momen untuk meneladani sunnah Rasulullah dan menjaga kesehatan tubuh setelah seharian menahan lapar serta haus.

Di Pondok Pesantren Nurul Hayah Ketanggungan, suasana berbuka puasa selalu penuh kebersamaan dan keberkahan. Santri dan pengasuh berkumpul dalam suasana yang penuh kehangatan, menikmati hidangan sederhana namun bernutrisi sesuai ajaran Islam.

Sunnah dalam Berbuka Puasa

Sebagai umat Islam, kita dianjurkan untuk berbuka puasa sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW. Beberapa sunnah yang perlu diperhatikan, antara lain:

  1. Menyegerakan Berbuka

Rasulullah SAW bersabda:
“Manusia akan tetap dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka.” (HR. Bukhari & Muslim).

Di Pondok Pesantren Nurul Hayah, adzan maghrib menjadi momen yang dinanti. Para santri tidak menunda-nunda berbuka, melainkan langsung mengawali dengan makanan yang dianjurkan dalam Islam.

  1. Berbuka dengan Kurma dan Air

Sesuai dengan kebiasaan Rasulullah SAW, berbuka puasa sebaiknya diawali dengan kurma dan air putih. Jika tidak ada kurma, maka air putih sudah cukup untuk menghidrasi tubuh setelah seharian berpuasa.

Hadits Nabi menyebutkan:
“Jika salah seorang di antara kalian berbuka, maka berbukalah dengan kurma karena ia adalah berkah. Jika tidak menemukannya, maka berbukalah dengan air karena ia adalah penyuci.” (HR. Abu Daud).

Di pesantren, para santri terbiasa mengikuti sunnah ini dengan menikmati beberapa butir kurma sebelum beralih ke makanan utama.

  1. Berdoa Sebelum Berbuka

Berbuka puasa juga dianjurkan dengan membaca doa:

“Allahumma inni laka shumtu wa bika aamantu wa ‘ala rizqika afthartu, birahmatika ya arhamarrahimin.”

Artinya: “Ya Allah, aku berpuasa karena-Mu, aku beriman kepada-Mu, dan aku berbuka dengan rezeki dari-Mu. Dengan rahmat-Mu, wahai Tuhan Yang Maha Pengasih.”

Menu Sehat untuk Berbuka di Pesantren

Agar tetap sehat dan bertenaga dalam menjalankan ibadah, penting untuk memilih makanan yang bernutrisi. Di Pondok Pesantren Nurul Hayah, menu berbuka puasa biasanya terdiri dari:

  1. Kurma dan Air Putih → Sumber energi cepat dan hidrasi terbaik.
  2. Bubur atau Sup Hangat → Makanan yang mudah dicerna setelah perut kosong seharian.
  3. Nasi dan Lauk Seimbang → Mengandung karbohidrat, protein, dan serat untuk menjaga daya tahan tubuh.
  4. Buah-buahan Segar → Kaya vitamin untuk meningkatkan imunitas.
  5. Minuman Hangat → Seperti teh manis atau wedang jahe untuk menjaga metabolisme tubuh.

Makanan yang Sebaiknya Dihindari

Agar tetap bugar selama Ramadan, beberapa makanan sebaiknya dikurangi atau dihindari, seperti:

  1. Makanan terlalu berminyak → Seperti gorengan, karena bisa menyebabkan gangguan pencernaan.
  2. Minuman berkafein atau bersoda → Bisa menyebabkan dehidrasi dan mengganggu kualitas tidur.
  3. Makanan tinggi gula → Bisa menyebabkan lonjakan gula darah yang tidak stabil.

Suasana Berbuka di Pondok Pesantren Nurul Hayah

Di Pondok Pesantren Nurul Hayah Ketanggungan, berbuka puasa bukan sekadar mengisi perut, tetapi juga menjadi sarana kebersamaan dan pendidikan karakter. Para santri diajarkan untuk berbagi dengan sesama, menjaga adab saat makan, serta mengucap syukur atas nikmat yang diberikan Allah SWT.

Kegiatan berbuka puasa biasanya diawali dengan tadarus Al-Qur’an menjelang maghrib, lalu berbuka dengan kurma dan air putih. Setelah shalat maghrib berjamaah, para santri menikmati hidangan utama dengan penuh kebersamaan.

Ramadan bukan hanya tentang menahan lapar dan haus, tetapi juga momen untuk memperbaiki diri, meningkatkan ibadah, serta meneladani akhlak Rasulullah SAW, termasuk dalam berbuka puasa. Semoga kita semua mendapatkan keberkahan Ramadan dan semakin dekat kepada Allah SWT.

 

Penulis: Muzakki Setyo Syahdani, S.I.Kom.

 

Antara Ramadhan dan Tasawuf

 

Antara Ramadhan dan Tasawuf

Oleh: Hilmi Riza, M.Pd.

Manusia adalah makhluk sosial yang mempunyai pikiran (akal) dan perasaan (hati). Keberadaan dari dua hal di atas telah menghadirkan lingkungan yang positif dan negatif. Dua kondisi lingkungan tersebut telah dipengaruhi oleh kedekatan seorang hamba kepada Tuhannya yaitu Allah Swt. Apabila telah terjalin kedekatan yang kuat antara diri seorang hamba kepada Tuhannya, maka lingkungan di sekitarnya akan bernuansa positif atau penuh kedamaian dan kesejahteraan. Namun, apabila tidak terjalin, maka yang akan terjadi di sekitar lingkungannya berupa kondisi yang negatif seperti, ketidak-adilan yang disebabkan nuansa kehidupan di sebagian besar masyarakat dunia dalam beraktivitas yang penuh dengan kerakusan dan kesombongan.

Ramadhan adalah bulan yang penuh dengan pendidikan, kepedulian sosial dan bulan yang penuh dengan kepekaan diri seorang hamba atas intruksi Allah Swt. Bagian yang terakhir, merupakan bagian utama yang ingin dijangkau oleh kalangan hamba Allah Swt., di bulan yang berisikan rahmat, maghfirah dan pelepasan atau menjauhkan siksa api neraka bagi yang berpuasa. Ramadhan identik dengan puasa dan merupakan jargon utama dari aktivitas ibadah lainnya yang dilakukan oleh seorang hamba Allah Swt. Oleh karena itu, puasa akan memberikan pendidikan, kepedulian sosial, dan jalan menuju kedekatan diri seorang hamba kepada Allah Swt. melalui kepekaannya dalam menghubungkan makna ibadah yang telah dilakukannya dengan kondisi perbuatan individu dan sosialnya sehari-hari. Hakikat Puasa Ramadhan dari Sudut prespektif sufi akan berusaha menjembatani kebingungan zaman sekarang yang dihadapi seorang hamba dalam beribadah . Di satu sisi, mereka menjalankan puasa Ramadan, namun di sisi lain, mereka masih memperlihatkan sifat rakus dan sombong (penyakit hati).

Tasawuf merupakan ilmu yang menitik beratkan pada pembinaan jiwa, penjelajahan hati, dan amalan batin seorang hamba.​ ​ ​Ibnu Qayyim al – Jauziyyah menempatkan pembahasan tasawuf dalam konteks perilaku hamba di bumi, yang menunjukkan peran mereka sebagai wakil Tuhan. Oleh karena itu, pemahamannya tentang tasawuf diartikan sebagai kedekatan seorang hamba kepada Allah, menjalankan perintah-perintah – Nya dan menjauhi larangannya dengan penuh keikhlasan. Tasawuf merupakan perwujudan kecintaan seorang hamba terhadap kehidupan, disertai dengan karakter yang luhur (berubah dari sifat hina menjadi mulia) dan kesucian hati. Pernyataan tentang tasawuf menunjukkan bahwa istilah sufi dapat dikaitkan dengan dua aspek: aspek lahiriah dan aspek batiniah.​ Keterkaitan masyarakat sufi dengan gaya hidup mereka terlihat dari kehadiran mereka di masjid dan pilihan mereka mengenakan pakaian sederhana yang terbuat dari bulu domba, yang mencerminkan aspek lahiriah.​ ​​ Mereka dipandang sebagai individu yang telah meninggalkan keinginan duniawi dan kebutuhan fisik yang mewah, menggunakan dunia semata -mata untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka. Sedangkan aspek batiniah berkaitan dengan niat tulus dan suci di dalam hati, yang menghubungkan mereka dengan jalan kemuliaan di sisi Allah dan menonjolkan dimensi rohani.

Puasa bukan hanya ada pada masa Nabi Muhammad saw, tetapi juga sudah ada sejak masa Nabi Musa a.s., meskipun tidak ada ketentuan khusus dalam Kitab Taurat, Zabur, maupun Injil mengenai waktu dan lamanya berpuasa.​​​ Nabi Musa ( AS ) berpuasa selama 40 hari, dan hingga saat ini, masyarakat Yahudi masih menjalankan praktik puasa, meskipun tanpa aturan khusus, seperti berpuasa selama seminggu untuk memperingati kehancuran Yerusalem dan pemulihannya, serta berpuasa pada hari kesepuluh bulan ketujuh menurut kalender mereka. Hakikat dari berbagai amalan puasa tersebut adalah untuk memperbaiki diri dari kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan dan mencegah terulangnya kesalahan – kesalahan tersebut . Kesalahan ini muncul dari dua keinginan yang memengaruhi kehidupan manusia: keinginan untuk kepuasan seksual dan keinginan untuk makanan. Bila kedua hawa nafsu ini tidak terkendali, maka dapat menimbulkan kekeliruan yang bersumber dari kerakusan dan kesombongan. Menurut Ibnu Katsir : puasa adalah menahan diri dari makan, minum, dan hubungan seksual dengan niat ikhlas karena Allah SWT, karena puasa dapat mendatangkan manfaat untuk kesucian, kebersihan, dan keunggulan diri dengan menjauhi hal-hal yang tercela dan akhlak yang hina.

Pengendalian diri adalah kesabaran untuk menahan hawa nafsu yang berlebihan, sebagaimana kesabaran merupakan bagian dari puasa. Pengendalian diri ini, yang mengarah pada kesabaran dalam mengendalikan dorongan manusia, didasarkan pada niat. Niat, yang diartikan sebagai segala tindakan yang ditujukan karena Allah, merupakan aspek mendasar yang mengangkat seseorang yang berpuasa ke tingkat ketakwaan, yang berakar pada keimanan dan kesiapan untuk menaati Allah, Yang Maha Penyayang. Komitmen seorang mukmin terlihat jelas ketika ia menerima perintah-perintah Tuhannya tanpa mempertimbangkan kemudahan atau kesulitannya ; hal ini merupakan bentuk ketaatan dan bukti keimanannya. Niat juga memberikan dorongan yang jelas bagi seorang hamba untuk bertindak tanpa keraguan atau rasa takut, karena niat mereka kepada Allah sebagai Tuhan mereka menghilangkan ketidakpastian dan kecemasan, sehingga memungkinkan setiap tindakan dipenuhi dengan cinta. Tak peduli perbuatannya maksimal atau minimal, hal itu tidak menjadi perhatian seorang hamba.

Muatan hikmah Ramadhan dalam menjalankan ibadah puasa bertujuan untuk menyembuhkan sifat sombong dan takabur seorang hamba semaksimal mungkin .​ ​​​​​ Kedua sifat ini muncul dari banyaknya kelupaan dan kesalahan manusia.​​ Oleh karena itu, hikmah yang terkandung dalam puasa Ramadhan akan diuraikan pada empat aspek yang dapat menunjang penyembuhan sifa -sifat buruk tersebut, yaitu tidak melekatnya pada diri seorang hamba sifat lupa dan khilaf yaitu kejujuran, pengakuan kepemilikan Allah Swt, kesadaran akan kelemahan diri dari pertolongan Allah yang Mahasuci, dan kesadaran akan Mulut yang Berdosa. Keutamaan puasa Ramadan yang sudah disebutkan menjadi petunjuk bagi seorang hamba menuju akhlak mulia dalam seluruh perbuatannya, sehingga menjadi teladan bagi seluruh ciptaan Allah, khususnya manusia dan jin. Hal ini dibuktikan oleh Allah dalam penjelasan surat An – Nashr yang artinya , “. . . dan kamu melihat manusia masuk ke dalam agama Allah secara berbondong – bondong . . . “.  Karakter yang baik merupakan tujuan utama seorang hamba dalam yang akan menentukan hasil dari tindakannya. Jika seseorang memiliki karakter yang baik, hasil tindakannya dan kebahagiaan yang dialaminya pun akan positif.​​ Sebaliknya, karakter yang buruk mengarah pada hasil yang negatif . Karena itu, seorang hamba hendaknya menyadari kekurangan -kekurangannya dan menyadari bahwa dengan berpuasa , khususnya di bulan Ramadan, ia dapat meraih kemuliaan dari Allah, Yang Maha Penyayang.